BREAKING NEWS

Farhan Habib: Suara Nurani di Tengah Badai, Ketika Bedug Keadilan Diketuk Seorang Penyuluh

LENSACAMERA.COM, SUNGAILIAT — Di tengah suasana sosial yang kerap dipenuhi riuh kepentingan dan ketegangan politik lokal, ada satu sosok yang memilih berjalan di jalur sepi: Farhan Habib. Penyuluh Agama Islam yang oleh warga dijuluki “Sang Penyuluh KUA” ini bukan hanya pandai berdakwah di mimbar, tapi juga berani berdiri di garis depan ketika nurani diuji.

Kasus yang mengguncang batinnya bermula dari pemukulan terhadap Ali Imran, marbot Mushola Al Ikhlas di Gang Namak — lelaki sederhana yang setiap hari memukul bedug lebih disiplin dari jadwal adzan. Pelakunya disebut-sebut adalah Yassir Mustafa, Ketua Dewan Masjid Indonesia Kabupaten Bangka sekaligus pejabat pendidikan wilayah yang kini santer digadang sebagai calon pejabat tinggi di Babel.

Ketika banyak orang memilih bungkam — entah karena takut, entah karena sibuk menjaga posisi — Farhan justru melangkah ke depan. Ia tak ingin keadilan dibiarkan tertidur di atas sajadah. “Kalau marbot yang memukul bedug saja tak kita bela, bagaimana kita mau bicara tentang keadilan di atas mimbar?” ujarnya tegas, tapi tetap dengan senyum hangat khasnya.

Farhan sadar, sikapnya bisa menjadi bumerang. Ia tahu risiko seorang penyuluh yang bersuara di tengah kekuasaan yang pekat. “Silakan korek masa lalu saya, asal jangan dikorek nuraninya,” katanya ringan, menandakan bahwa keberanian tak selalu lahir dari kekuatan, tapi dari ketulusan.

Membela seorang marbot perantauan di tanah Bangka bukan langkah ringan. Tekanan datang bertubi-tubi, godaan untuk diam pun hadir halus tapi tajam. Namun bagi Farhan, diam bukan pilihan. “Kalau penyuluh hanya bicara kebaikan tapi diam saat kebenaran diinjak, itu bukan penyuluh — itu ornamen di masjid,” ucapnya dengan nada setengah bercanda, setengah menampar kenyataan.

Julukan “bemper terbuka” yang disematkan kepadanya justru ia sambut dengan bangga. “Lebih baik jadi bemper yang menahan hantaman kezaliman daripada jadi kaca spion yang hanya melihat dari jauh tanpa berbuat apa-apa,” katanya mantap, menatap lurus ke depan.

Kini, kariernya mungkin berada di ujung tanduk, tapi Farhan tetap melangkah dengan dada tegak. Baginya, kejujuran bukanlah jabatan yang bisa digeser, melainkan kompas yang menuntun langkah hidup. Dan setiap kali usai bersuara, ia selalu menutup dengan kalimat yang kini menjadi ciri khasnya:

“Terima kasih sudah menyaksikan, tapi jangan berhenti di situ. Mari ikut mengetuk bedug kebenaran, walau hanya dengan doa dan niat.” (*)
Berita Terbaru
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image